Sunday, November 2, 2008

Just about Global Economic Crisis..

Tulisan Triawan Munaf (ayahnya Sherina), mudah-mudahan bisa membantu memahami krisis ekonomi global yg terjadi sekarang ini dengan lebih gampang. Konon krisis ini akan berdampak bagi Indonesia setidaknya setahun. Hiks...

Salam,
Antok (Umiati)

--------------------------

Sekali2 serius yuk.....
Kita sekarang masih bisa ketawa2, dan memang jangan pernah ada yg menghentikan itu. Tapi malam ini dunia sedang mengalami Global Sell-off, spiral down, melting down, dan segala istilah2 yg artinya dunia sekarang sedang mengalami resesi. Dan ini akan mempengaruhi kita secara langsung, atau tidak langsung.
Supaya kita tidak bertanya-tanya lagi, saya ingin berbagi dg Adbrriers untuk menceritakan secara awam mengenai penyebab semua krisis ini yaitu hebatnya krisis keuangan di AS yg saya kutip dari bbrp sumber, salah satunya dari tulisan Dahlan Iskan. Semoga bermanfaat bagi adberriers yg belum tahu dan ingin tahu:

Semua perusahaan go public dituntut utk terus berkembang (labanya). Soal
caranya bagaimana, itu urusan kiat para CEO-nya, mau pake cara manis atau pahit, terserah saja. Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau
ratusan ribu orang, sehingga mereka tak peduli lagi dg tetek-bengek perusahaan mereka. Yg mereka mau tahu adalah dua hal terpenting saja: 'harga sahamnya' harus terus naik, agar kalau mereka ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi dibanding waktu mereka beli dulu: untung…!! dan 'labanya' harus terus meningkat agar kalau mereka tidak ingin jual saham, sedikitnya setiap tahun mereka bisa dapat pembagian dividen yg kian banyak.

Apakah para CEO yg harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi kadang bisa rugi ?
Tidak…!!!! para CEO itu tidak merasa terus-menerus diuber target. Tanpa disuruh mereka sendiripun memang juga menginginkannya. Mengapa? Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia mendapat bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari laba/growth yg dicapai. Gaji dan bonus yg diterima para CEO perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden George Bush. Mana bisa dg gaji sebesar itu masih stres?

Oleh karenanya keinginan pemegang saham dan para CEO itu "klop". Maka, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain.
Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru. Kalau bikin jalan baru
ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain.. Kalau tidak boleh diambil?
Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan cara yang licik dan kasar! Istilah populernya hostile take over. Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat jalan.

Kalau perusahaan terus berkembang, everybody happy. Para CEO dan jajarannya happy karena dapat bonus yg mencapai Rp 500 miliar/tahun. Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus naik. Pemerintah happy karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi happy karena dapat dukungan atau sumber dana.

Demikianlah gambaran ekonomi AS yg berkembang dg pesatnya dan kesejahteraan rakyatnyapun meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya.
Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.
Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja. Kalau tidak bisa bikin sendiri, datangkan saja dari Cina atau negara lainnya. Itulah yang membuat Cina bisa menjual barang apa saja ke AS yg bisa membuat Cina punya cadangan devisa terbesar di dunia: USD 2 triliun….. ruarrrr biasa!!!!

Sudah lebih dari 60 tahun cara 'membesarkan' perusahaan seperti itu
dilakukan di AS dg suksesnya. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS
dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia.

Tapi, itu belum cukup. Yg makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet
otomatis dianggap tidak cukup: harus computerized! Ketika semua orang sudah
mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi perusahaan yg jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat, dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yg kian banyak.. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar kucing atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga mobilnya. Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli rumah? kalau tidak ada lagi yg mau beli rumah,
bagaimana perusahaan bisa lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?

Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu di 1980,
pemerintah bikin keputusan yang disebut ''Deregulasi Kontrol Moneter''.
Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan realestat diperbolehkan menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua tahun kemudian. Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan, asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang dimanfaatkan perbankan secara nyata.

Begini ceritanya:

Sejak sekitar 1925 di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam UU kredit
pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi syarat tertentu,
bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti KPR, meski tidak sama). Kata
''mortgage'' berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya:
'Matinya sebuah ikrar'. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage,
Anda mendapat kredit. Lalu, Anda membeli rumah. Rumah itu Anda serahkan
kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama cicilan
Anda belum lunas.

Dg keluarnya ''jalan baru'' pada 1980 itu, terbuka peluang untuk menaikkan
bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank bisa dapat
peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para broker dan
bisnis lain yang terkait. Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan.
Maka, ada lagi ''jalan baru'' yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian.

Pada 1986 pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya: pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.
Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.

Lalu, apa hubungannya dg bangkrutnya investment banking seperti Lehman Brothers?

Gairah bisnis rumah yg luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena fasilitas pajak tsb. Fasilitas itu telah dilihat oleh ''para pelaku bisnis keuangan'' sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan meningkatkan laba.
Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah. Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank. Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik rumah. Yg rumahnya sudah lunas, di-mortgage- kan lagi untuk membeli rumah berikutnya. Yg belum memenuhi syarat beli rumah pun bias mendapatkan kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah.

Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam undang-undang perbankan yang keras.

Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan. Jalan baru itu adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan ''bank jenis lain'' yang disebut investment banking. Ia bukan bank tapi kegiatannya ''hanya mirip'' bank, ia lebih bebas daripada bank dan tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal: menerima macam-macam ''deposito'' dari para pemilik uang, meminjamkan uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkan! Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi adalah jenis investment banking itu.

Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja: kepada bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah ''personal banking''.

Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage. Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi, pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya.
Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang dari 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyakyang gagal bayar.

Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain itu menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjamin an ke yang beriktunya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu domino yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh semua.

Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun dolar. Jadi, kalau Presiden Bush sekarang menyuntik dana APBN USD 700 miliar, memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?

Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sebelum jumat kemarin menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan Negara Indonesia dijadikan satu.

Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang Indonesia yang ''menabung'' -kan uangnya di lembaga-lembaga investment banking yang kini lagi pada kesulitan itu.
Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada Singapura, Hongkong, atau Cina.

Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan Cina akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun, yang berarti banyak barang buatan Cina yg tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke sana. Kita, setidaknya, masih bisa menanam jagung, makan nasi tutug atau nasi daun jeruk….. dan kalo sakit, minum jamu.
*Proudly sent from my vintage Blackberry 8800*

0 comments:

LIA AFIF ONLINE BOUTIQUE

REUNI AKBAR SMA 2 JOMBANG ALUMNUS 91-95

REUNI AKBAR SMA 2 JOMBANG ALUMNUS 91-95
Pusat Informasi Reuni Akbar SMA Negeri 2 Jombang Alumnus 1991-1995 bulan September 2009 di Jombang

About Me

Followers

Akhirnya